Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, sains seringkali terasa seperti sesuatu yang jauh — tersembunyi di balik pintu laboratorium, dipenuhi istilah teknis, atau sekadar muncul dalam berita yang penuh jargon. Padahal, sains hadir dalam segala aspek kehidupan: dari makanan yang kita konsumsi, kualitas udara yang kita hirup, hingga kebijakan kesehatan yang memengaruhi keluarga kita.
Jadi, mengapa masih banyak orang merasa bahwa sains tidak relevan?
Kesenjangan Persepsi
Penelitian dalam bidang komunikasi sains menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada sains itu sendiri, melainkan pada cara kita membicarakannya. Menurut Pew Research Center, kepercayaan publik terhadap ilmuwan masih relatif tinggi secara global. Survei Eurobarometer 2019 misalnya menunjukkan bahwa hampir separuh masyarakat Eropa merasa tidak cukup tahu tentang perkembangan ilmiah terbaru. Kepercayaan tanpa pemahaman — sebuah paradoks yang nyata.
Baca juga artikel ini..
Model komunikasi tradisional yang dikenal sebagai deficit model (model kekurangan informasi) — di mana masyarakat diasumsikan hanya perlu “diberi lebih banyak pengetahuan” — justru seringkali gagal membangun keterhubungan. Sains dianggap terlalu teknis, terlalu jauh dari kehidupan nyata.
Namun, fakta saja tidak cukup untuk membangun makna. Cerita dan konteks-lah yang menghubungkan.
Menempatkan Sains dalam Kehidupan Sehari-Hari
Penelitian terbaru dan praktik jurnalisme sains menunjukkan bahwa sains lebih mudah dipahami saat dikaitkan dengan pengalaman hidup nyata.
Contohnya, dalam isu perubahan iklim, angka kenaikan suhu global 1,5°C mungkin tidak terlalu “menggugah”, tapi menjelaskan bagaimana hal itu dapat memengaruhi panen padi di Jawa Tengah atau memperburuk banjir rob di pesisir Semarang akan terasa jauh lebih nyata bagi masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, berbagai inisiatif telah berhasil memadukan pengetahuan ilmiah dengan kearifan lokal. Misalnya, penggunaan citizen science dalam pemetaan risiko banjir oleh warga Jakarta atau proyek komunitas untuk memantau kualitas udara di Bandung menunjukkan bahwa ketika sains dibawa ke ranah partisipatif, keterlibatan publik meningkat signifikan.
Isu vaksinasi juga jadi contoh menarik. Dalam banyak kasus, resistensi terhadap vaksin bukan karena kurangnya informasi, tetapi karena adanya krisis kepercayaan — terhadap institusi, sejarah layanan kesehatan, atau pengalaman masa lalu. Komunikasi sains yang relevan adalah komunikasi yang sensitif terhadap konteks sosial dan budaya, bukan sekadar menyampaikan data.
Perlu Penerjemah yang Baik
Ilmuwan adalah penulis pengetahuan, tapi komunikator sains adalah penerjemahnya. Namun menerjemahkan sains bukan sekadar mengubah istilah teknis ke bahasa awam — ia juga harus menyentuh aspek emosional, budaya, dan politik.
Jurnalisme sains yang baik mampu menjawab pertanyaan: “Mengapa temuan ini penting saat ini? Siapa yang terpengaruh? Apa risikonya jika kita mengabaikannya?” Namun sayangnya, banyak redaksi media di Indonesia kekurangan jurnalis sains yang punya latar belakang khusus, dan berita sains seringkali terbatas pada rilis institusi atau liputan acara.
Model baru kini mulai muncul. Platform seperti The Conversation Indonesia memberi ruang bagi akademisi menulis langsung untuk publik, dibantu editor yang memahami kebutuhan narasi dan konteks. Di sisi lain, video edukatif di media sosial seperti KokBisa? mulai menjembatani kesenjangan tersebut.
Relevansi Adalah Jalan Dua Arah
Pada akhirnya, membuat sains terasa lebih relevan bukan berarti memaksa sains masuk ke dalam hidup masyarakat, tetapi justru membuka ruang agar masyarakat bisa masuk ke dalam sains.
Artinya, masyarakat harus dilibatkan sejak awal — dalam menetapkan prioritas riset, merancang metode, hingga dalam proses penyebaran pengetahuan. Sains tidak bisa lagi bersifat elitis dan eksklusif.
Dalam konteks Indonesia, memperkuat ekosistem science communication berarti mendorong kebijakan riset yang lebih terbuka, memperkuat peran universitas sebagai pusat dialog publik, dan mengakui bahwa sains tidak lepas dari nilai, budaya, dan politik.
Kita tidak hanya perlu bertanya bagaimana membuat sains lebih relevan, tetapi juga: siapa yang berhak mendefinisikan makna “relevan” itu sendiri?
References:
- Wynne, B. (1992). Public understanding of science research: New horizons or hall of mirrors?
- Jasanoff, S. (2004). States of Knowledge: The Co-production of Science and the Social Order.
- Pew Research Center (2022). Public Trust in Science and Scientists.
- Eurobarometer (2019). Science and Technology in Europe.
Tinggalkan komentar