Indonesian Science Communication Lab (IDSCL)

adalah grup inisiasi non-profit untuk pengembangan keilmuan, strategi dan praktik komunikasi sains di Indonesia. Berbasis riset dan pengalaman praktis untuk meningkatkan wacana dan partisipasi publik pada sains, dengan mendorong dialog dan proses deliberatif dalam ruang lingkup kajian public engagement of science (PES) dan Science, Technology and Society (STS).

Kuliah Komunikasi Sains: Bekal Penting untuk Lulusan Masa Kini

Bayangkan seorang lulusan biologi yang sangat ahli di bidangnya, tetapi kesulitan menjelaskan pekerjaannya kepada rekan kerja dari bidang lain atau bahkan kepada masyarakat awam. Ini bukan sekadar masalah komunikasi—ini adalah tantangan dunia nyata yang dihadapi banyak lulusan sains. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Matthew Wood di Journal of Science Communication, terungkap bahwa pendidikan komunikasi sains di universitas tidak hanya penting untuk meningkatkan keterampilan komunikasi, tetapi juga berpotensi besar sebagai sarana pelatihan lintas disiplin yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja masa depan.

Pendidikan komunikasi sains di universitas tidak hanya penting untuk meningkatkan keterampilan komunikasi, tetapi juga berpotensi besar sebagai sarana pelatihan lintas disiplin yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja masa depan.

Dulu, komunikasi sains dianggap sekadar pelengkap dalam pendidikan ilmiah. Namun kini, ia telah menjadi komponen utama dalam kurikulum sains di banyak universitas. Mengapa? Karena keterampilan komunikasi terbukti menjadi atribut penting dalam mempersiapkan lulusan menghadapi tantangan pekerjaan—tidak hanya sebagai peneliti, tetapi juga sebagai komunikator, kolaborator, dan agen perubahan.

Di Australia, misalnya, hanya sekitar 40% lulusan sains yang bekerja di bidang yang benar-benar berhubungan dengan ilmu mereka. Banyak dari mereka merasa siap dalam hal keahlian teknis, tetapi lemah dalam keterampilan yang lebih umum seperti komunikasi lisan dan tertulis, kesadaran sosial, dan pemahaman terhadap pandangan orang lain. Komunikasi sains hadir sebagai jawaban atas kesenjangan ini.

Interdisiplin: Kebutuhan Zaman, dan Tantangan Pendidikan

Dunia menghadapi berbagai tantangan kompleks—dari krisis iklim hingga kecerdasan buatan—yang menuntut kolaborasi lintas bidang ilmu. Di sinilah pentingnya kompetensi interdisipliner. Sayangnya, banyak lulusan masih belum siap untuk bekerja dalam tim yang terdiri dari latar belakang berbeda.

Universitas mulai menyadari pentingnya membekali mahasiswa dengan kemampuan berpikir lintas disiplin. Tapi bagaimana caranya? Di sinilah pendidikan komunikasi sains menunjukkan potensinya. Karena secara alami bersifat interdisipliner—menggabungkan ilmu komunikasi, jurnalisme, psikologi, sosiologi, dan lainnya—kuliah komunikasi sains bisa menjadi ruang latihan yang ideal untuk membangun cara berpikir lintas perspektif.

Wood menunjukkan bahwa mata kuliah komunikasi sains, khususnya yang berjenis “skills with theory” dan “big picture”, kerap menghadirkan materi dari berbagai disiplin. Diskusi tentang sifat sains, keterbatasannya, dan bagaimana ilmu ini dilihat dari sudut pandang budaya atau masyarakat non-akademik, dapat memperluas cara pandang mahasiswa. Tak hanya belajar menjelaskan sains dengan cara yang mudah dipahami, mahasiswa juga diajak memahami cara berpikir lain, dari filsafat hingga kearifan lokal.

Di beberapa universitas, mahasiswa dari berbagai latar belakang (baik sains maupun non-sains) bisa mengikuti mata kuliah ini. Hasilnya? Interaksi antar mahasiswa dari disiplin berbeda menjadi tempat lahirnya "serendipitous encounters"—pertemuan tak terduga yang memicu pertukaran perspektif dan pemahaman baru. Ini adalah dasar dari kemampuan interdisipliner yang sejati.

Apa Saja Kompetensi Interdisipliner Itu?

Merujuk pada kerangka kerja dari Lattuca dkk. (2012), ada delapan kompetensi utama yang mencerminkan kapasitas interdisipliner, seperti:

  • Kesadaran akan batasan disiplin ilmu sendiri
  • Apresiasi terhadap perspektif lain, termasuk non-akademik
  • Kemampuan mengevaluasi pendekatan lintas disiplin
  • Refleksivitas terhadap nilai dan bias diri sendiri
  • Keterampilan integratif untuk menyatukan pengetahuan dari berbagai bidang

Menariknya, Wood menunjukkan bahwa sebagian besar kompetensi ini sebenarnya bisa dicapai melalui sedikit penyesuaian dalam mata kuliah komunikasi sains yang sudah ada. Tanpa perlu merombak kurikulum besar-besaran, kita bisa mulai membekali mahasiswa dengan alat untuk berpikir dan bekerja lintas batas keilmuan.

Tantangan terbesar bagi kelangsungan pendidikan komunikasi sains justru datang dari kenyataan bahwa ia sulit dikotakkan ke dalam satu departemen. Karena terlalu "lintas disiplin", mata kuliah ini rentan diabaikan oleh struktur birokrasi pendidikan tinggi. Padahal, kontribusinya terhadap pengembangan keterampilan inti lulusan universitas sangat besar.

Karena tantangan soal lintas disiplin, Wood menyarankan agar para pendidik dan pengelola program komunikasi sains mulai menonjolkan sisi interdisipliner ini secara eksplisit dalam deskripsi mata kuliah dan capaian pembelajaran. Dengan begitu, nilai strategis pendidikan komunikasi sains akan lebih mudah dipahami oleh mahasiswa, dosen lintas bidang, hingga pihak pengelola kampus.

Di masa depan, komunikasi sains terbukti efektif dalam membekali mahasiswa dengan keterampilan komunikasi. Hal ini juga menjadikan komunikasi sains menjadi sarana pelatihan interdisipliner bagi para mahasiswa yang akan mempersiapkan generasi baru lulusan menghadapi dunia kerja dan persoalan global yang kompleks. Semua ini bisa dimulai dari ruang kelas—dengan membuka pikiran, mendengarkan perspektif lain, dan belajar menjembatani batas antar disiplin.

Mungkin saatnya universitas tidak lagi bertanya “perlu nggak ada kuliah komunikasi sains?”, melainkan “mengapa belum semua mahasiswa mendapatkannya?”


Tinggalkan komentar

Eksplorasi konten lain dari Indonesian Science Communication Lab (IDSCL)

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca