Indonesian Science Communication Lab (IDSCL)

adalah grup inisiasi non-profit untuk pengembangan keilmuan, strategi dan praktik komunikasi sains di Indonesia. Berbasis riset dan pengalaman praktis untuk meningkatkan wacana dan partisipasi publik pada sains, dengan mendorong dialog dan proses deliberatif dalam ruang lingkup kajian public engagement of science (PES) dan Science, Technology and Society (STS).

Mengapa Kita Merasa Ilmuwan COVID-19 Tak Sebaik Ahli Astrofisika?

Ketika sains makin sering muncul di layar kaca dan media sosial, persepsi publik terhadap ilmuwan pun makin kompleks. Tapi apakah semua ilmuwan dipandang sama oleh masyarakat? Sebuah studi terbaru di Jerman menunjukkan bahwa bidang penelitian sangat memengaruhi tingkat kepercayaan dan persepsi keaslian publik terhadap para ilmuwan.

Pandemi COVID-19 dan krisis iklim bukan hanya menguji kapasitas ilmu pengetahuan, tetapi juga menggeser para ilmuwan dari laboratorium ke layar media. Mereka muncul sebagai penasihat kebijakan, narasumber tetap talk show, hingga ikon nasional yang disanjung dan dicaci.

Namun, apakah kedekatan dengan sorotan publik membuat mereka lebih dipercaya? Ternyata tidak selalu. Bahkan, semakin terlihat publik, seorang ilmuwan justru bisa makin rentan terhadap penilaian negatif, terutama dalam hal motivasi pribadi dan afiliasi politik.

Sebuah studi baru oleh Schug (2024) dan koleganya dari University of Augsburg di Jerman mengungkap temuan menarik: ilmuwan yang bekerja di bidang kontroversial seperti virologi (terutama yang terkait COVID-19) dan ilmu iklim dianggap kurang trustworthy (dapat dipercaya) dan kurang authentic (tulus/asli) dibandingkan ilmuwan dari bidang yang relatif tidak kontroversial seperti astrofisika atau sejarah. Hal ini menandakan bahwa persepsi publik terhadap ilmuwan tidak netral, melainkan sangat dipengaruhi oleh konteks isu yang sedang dihadapi.

Ilmuwan yang bekerja di bidang 'kontroversial' (menimbulkan perdebatan publik) seperti virologi (terutama yang terkait COVID-19) dan ilmu iklim dianggap kurang trustworthy (dapat dipercaya) dan kurang authentic (tulus/asli) dibandingkan ilmuwan dari bidang yang relatif tidak kontroversial seperti astrofisika atau sejarah. Hal ini menandakan bahwa persepsi publik terhadap ilmuwan tidak netral, melainkan sangat dipengaruhi oleh konteks isu yang sedang dihadapi.

Ilmuwan Bukan Entitas Tunggal di Mata Publik

Studi yang diterbitkan di Journal of Science Communication ini melibatkan 1007 responden dalam survei nasional representatif di Jerman. Responden dibagi secara acak menjadi lima kelompok, masing-masing diminta menilai ilmuwan dari bidang tertentu (COVID-19, iklim, astrofisika, sejarah) atau tanpa spesifikasi (ilmu pengetahuan secara umum). Teknik ini memungkinkan peneliti mengukur pengaruh bidang ilmu terhadap persepsi publik dengan tingkat presisi yang tinggi.

Hasilnya menunjukkan bahwa ilmuwan di bidang ‘kontroversial’ mendapat skor lebih rendah dalam hal keahlian (expertise), integritas, dan itikad baik (benevolence). Khususnya, ahli iklim dinilai paling rendah dalam hal koneksi sosial dan integritas pribadi dibandingkan dengan astrofisikawan—sebuah ironi, mengingat urgensi krisis iklim saat ini. Bahkan untuk dimensi yang umumnya dianggap netral, seperti keahlian teknis, ilmuwan dari bidang kontroversial tetap dinilai lebih rendah.

Menariknya, ilmuwan tanpa spesifikasi bidang—alias “ilmuwan umum”—mendapat skor tertinggi, mengindikasikan bahwa persepsi publik bisa jadi lebih positif ketika tidak dibebani oleh asosiasi bidang yang penuh konflik. Ini menunjukkan adanya semacam “bias topikal”, di mana persepsi terhadap topik (misalnya, vaksinasi atau perubahan iklim) merembet ke persepsi terhadap pelakunya.

Persepsi publik bisa jadi lebih positif ketika tidak dibebani oleh asosiasi bidang yang penuh konflik. Ini menunjukkan adanya semacam "bias topikal", di mana persepsi terhadap topik (misalnya, vaksinasi atau perubahan iklim) merembet ke persepsi terhadap pelakunya.

Media Sebagai Cermin dan Pembentuk Persepsi

Lalu dari mana persepsi ini terbentuk? Para peneliti menyoroti peran penting konsumsi media, terutama bagaimana cara publik mengakses berita sains. Dalam masyarakat digital, informasi sains tidak hanya diakses dari jurnal atau institusi riset, tetapi juga dari YouTube, akun influencer, hingga pesan WhatsApp keluarga.

Studi ini membedakan antara “media lama” (koran, TV, majalah ilmiah) dan “media baru” (media sosial, podcast, Wikipedia). Konsumsi tinggi terhadap media lama berkorelasi dengan meningkatnya kepercayaan pada ilmuwan, terutama dalam dimensi integritas dan kontribusi sosial. Namun, media baru menunjukkan hasil yang bertolak belakang: semakin sering seseorang mengakses sains dari media sosial, semakin rendah penilaian mereka terhadap keaslian ilmuwan. Ini bisa terjadi karena media sosial kerap menyajikan sains dalam bentuk yang emosional, berkonflik, atau bahkan disinformasi.

Riset ini memperkuat argumen bahwa media sosial—dengan algoritma dan biasnya—bukan hanya memperluas jangkauan informasi, tetapi juga membentuk persepsi melalui filter emosional, politik, dan ideologis. Bahkan, seseorang yang hanya mengonsumsi sains dari platform tertentu bisa membentuk pandangan yang sangat terpolarisasi, meskipun niat awalnya adalah mencari informasi.

Media sosial—dengan algoritma dan biasnya—bukan hanya memperluas jangkauan informasi, tetapi juga membentuk persepsi melalui filter emosional, politik, dan ideologis. Seseorang yang hanya mengonsumsi sains dari platform tertentu bisa membentuk pandangan yang sangat terpolarisasi, meskipun niat awalnya adalah mencari informasi.

Membedah Konsep “authenticity” dan “trustworthiness”

Konsep “keaslian” atau authenticity dalam sains relatif baru dalam penelitian komunikasi ilmiah. Ini merujuk pada sejauh mana seorang ilmuwan dianggap tulus, transparan, dan konsisten antara kata dan perbuatannya. Di luar aspek teknis, publik juga mengukur apakah seorang ilmuwan tampak jujur, bisa dipercaya, dan tidak memiliki agenda tersembunyi.

Dalam konteks krisis, seperti pandemi COVID-19, tuntutan publik terhadap transparansi meningkat. Namun, ironisnya, intensitas kemunculan ilmuwan di media justru bisa merusak persepsi keaslian mereka. Ketika seorang virolog muncul dalam banyak wawancara, publik bisa mulai mempertanyakan: apakah ia sungguh peduli pada sains, atau hanya ingin terkenal? Apakah ia netral, atau punya afiliasi dengan pihak tertentu?

Ironisnya, intensitas kemunculan ilmuwan di media justru bisa merusak persepsi keaslian mereka. Ketika seorang virolog muncul dalam banyak wawancara, publik bisa mulai mempertanyakan: apakah ia sungguh peduli pada sains, atau hanya ingin terkenal? Apakah ia netral, atau punya afiliasi dengan pihak tertentu?

Penilaian seperti ini bisa sangat dipengaruhi oleh stereotip media tentang “ilmuwan ideal”—seseorang yang jenius namun rendah hati, penuh dedikasi namun tak haus sorotan. Ketika kenyataan ilmuwan tidak sesuai dengan gambaran ideal ini, publik merasa kecewa. Sayangnya, ekspektasi ini sering kali tidak realistis dan tidak mempertimbangkan kompleksitas peran ilmuwan di ranah publik. Dalam konteks peran ilmuwan untuk publik, jelas bahwa ilmuwan harus lebih banyak ‘turun gunung’ dari menara gadingnya dan memulai proses dialogis untuk membawa sains dari ruang sempit laboratorium ke ruang publik.

Apa Dampaknya Bagi Komunikasi Sains?

Riset ini memberikan pelajaran penting bahwa, komunikasi sains tidak bisa hanya soal menyampaikan data dan fakta. Jika tujuan akhir adalah membangun kepercayaan publik, maka dimensi moral dan emosional juga perlu diperhatikan.

Sains bukan sekadar "apa yang benar", tetapi juga "siapa yang menyampaikan" dan "bagaimana cara menyampaikannya".

Ini sangat relevan dalam konteks Indonesia, di mana penanganan isu sains seperti vaksinasi, perubahan iklim, atau GMO sering kali diwarnai ketidakpercayaan publik. Ketika ilmuwan tidak hanya dipandang dari kompetensi, tetapi juga dari kesan personal—apakah mereka tulus, peduli, dan jujur—maka komunikasi sains harus lebih strategis dalam membangun citra yang autentik.

Sebagaimana disimpulkan para peneliti, “authenticity” adalah cermin dari ideal publik yang mungkin tidak realistis. Tapi justru karena itu, memahami dan mengelola ekspektasi ini penting untuk mencegah disinformasi dan krisis kepercayaan. Ini juga menuntut ilmuwan untuk sadar akan “performa publik” mereka, baik dalam wawancara, tulisan populer, maupun unggahan media sosial.

Sebagaimana disimpulkan para peneliti, "authenticity" adalah cermin dari ideal publik yang mungkin tidak realistis.

Menuju Strategi Komunikasi yang Lebih Reflektif

Riset ini membuka ruang untuk pendekatan baru dalam komunikasi sains—yakni memperlakukan persepsi publik bukan sebagai gangguan, tetapi sebagai indikator penting dari kesehatan relasi sains dan masyarakat. Persepsi negatif bukan tanda bahwa publik anti-sains, tetapi sinyal bahwa ada jarak naratif dan emosional yang perlu dijembatani.

Persepsi negatif masyarakat bukan tanda bahwa publik anti-sains, tetapi sinyal bahwa ada jarak naratif dan emosional yang perlu dijembatani

Jika konsumsi media memengaruhi persepsi terhadap sains, maka strategi komunikasi perlu mengintervensi dua hal: kualitas konten sains di media, dan kapasitas literasi media di masyarakat. Alih-alih hanya menyajikan ilmuwan sebagai otoritas yang tahu segalanya, komunikasi sains bisa belajar dari jurnalisme—menghadirkan cerita manusiawi, penuh nuansa, dan terbuka terhadap dialog.

Lebih jauh, para komunikator sains perlu mempertimbangkan keragaman audiens: dari masyarakat urban digital native hingga komunitas rural yang masih bergantung pada televisi, radio atau informasi langsung dengan tokoh lokal. Pendekatan yang seragam tidak akan cukup. Diperlukan komunikasi yang berbasis empati, konteks lokal, dan keterbukaan terhadap kritik.

Studi ini adalah pengingat bahwa membangun kepercayaan publik terhadap sains bukan hanya tugas akademisi, tetapi juga para jurnalis, komunikator sains, dan pembuat kebijakan media. Tanpa itu, bahkan ilmu pengetahuan terbaik pun bisa kehilangan pengaruhnya di tengah hiruk-pikuk informasi.

Seiring makin kompleksnya peran sains dalam masyarakat, kita tidak bisa lagi mengandalkan kredibilitas akademik semata. Masyarakat menilai ilmuwan bukan hanya dari keahlian, tetapi juga dari apakah mereka tampak seperti “orang baik”. Dalam dunia yang penuh krisis, ilmuwan harus tampil bukan hanya sebagai sumber solusi, tetapi juga sebagai sosok yang bisa dipercaya dan terasa dekat.

Lebih dari sekadar publikasi atau presentasi ilmiah, masa depan sains tergantung pada kemampuannya untuk membangun relasi sosial yang kuat dan berkelanjutan. Kepercayaan tidak tumbuh dari data, tapi dari dialog.


Sitasi:
Schug, M., Bilandzic, H. and Kinnebrock, S. (2024). Public perceptions of trustworthiness and authenticity towards scientists in controversial scientific fields JCOM 23(09), A03. https://doi.org/10.22323/2.23090203


Tinggalkan komentar

Eksplorasi konten lain dari Indonesian Science Communication Lab (IDSCL)

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca