Indonesian Science Communication Lab (IDSCL)

adalah grup inisiasi non-profit untuk pengembangan keilmuan, strategi dan praktik komunikasi sains di Indonesia. Berbasis riset dan pengalaman praktis untuk meningkatkan wacana dan partisipasi publik pada sains, dengan mendorong dialog dan proses deliberatif dalam ruang lingkup kajian public engagement of science (PES) dan Science, Technology and Society (STS).

Imaginer Algoritmik: Bagaimana Persepsi tentang Algoritma Mengubah Konten Sains di Media Sosial

Perkembangan teknologi digital dan media sosial membawa perubahan signifikan dalam cara publik mengakses informasi ilmiah. Media sosial seperti YouTube kini memainkan peran penting sebagai sumber utama konten edukasi dan ilmiah. Namun, bagaimana konten ini dihasilkan, dipengaruhi, dan dibentuk oleh sesuatu yang tidak selalu terlihat jelas: algoritma.

Dalam studi terbaru yang dilakukan oleh Clarissa Elisa Walter dan Sascha Friesike (2025) dengan judul “Behind the Screens: How Algorithmic Imaginaries Shape Science Content on Social Media”, dijelaskan bahwa persepsi atau bayangan tentang algoritma (algorithmic imaginaries) secara signifikan mempengaruhi bagaimana konten ilmiah dirancang dan disajikan kepada publik. Studi ini mengamati secara langsung proses produksi video ilmiah selama 18 bulan di sebuah lembaga penyiaran publik Jerman, dengan fokus pada kolaborasi antara pakar digital dan akademisi.

Apa Itu Imaginer Algoritmik?

Walter dan Friesike memperkenalkan konsep imaginer algoritmik sebagai persepsi individu atau kelompok mengenai cara kerja algoritma yang mengatur distribusi konten di media sosial. Imaginer ini tidak selalu berdasarkan pemahaman teknis yang akurat, melainkan pada interpretasi atau asumsi mengenai bagaimana algoritma bekerja dalam meningkatkan visibilitas dan popularitas konten tertentu. Hal ini menjadi krusial, karena para pembuat konten secara aktif berusaha menyesuaikan diri dengan apa yang mereka yakini menjadi preferensi algoritma.

Imaginer algoritmik ini, meskipun sering kali spekulatif, memiliki dampak nyata pada proses produksi konten. Dalam penelitian ini, Walter dan Friesike menemukan bahwa para kreator konten tidak hanya mempertimbangkan kualitas ilmiah atau relevansi informasi, tetapi juga memikirkan secara intens bagaimana konten tersebut “terlihat” oleh algoritma.

Menyesuaikan Konten Ilmiah untuk Algoritma

Dalam konteks media sosial, terutama YouTube, algoritma bertujuan memaksimalkan keterlibatan pengguna, ditandai dengan waktu menonton yang panjang, jumlah tayangan tinggi, dan interaksi pengguna (komentar, likes, shares). Dengan demikian, tim produksi video ilmiah dalam penelitian ini menyesuaikan strateginya agar konten yang mereka buat dapat “terpilih” oleh algoritma sebagai konten yang relevan dan menarik.

Terdapat tiga strategi utama yang diidentifikasi oleh Walter dan Friesike dalam proses produksi:

Pertama, menciptakan inklusivitas audiens. Konten ilmiah dikemas agar dapat menjangkau publik yang luas dengan menghindari jargon teknis dan memilih visualisasi yang menarik. Video didesain untuk bisa menarik perhatian berbagai kelompok masyarakat, dari yang awam hingga yang sedikit memahami topik ilmiah tertentu.

Kedua, menjawab kebutuhan audiens. Pembuat konten menempatkan dirinya pada posisi audiens, berupaya merancang konten yang relevan dengan pengalaman sehari-hari, misalnya dengan menjelaskan fenomena ilmiah melalui contoh praktis yang dekat dengan kehidupan sehari-hari audiens.

Ketiga, strategi persuasi dahulu, penjelasan kemudian. Fokus utama pada awal video adalah menarik perhatian penonton secepat mungkin. Penjelasan detail yang lebih kompleks ditempatkan kemudian, setelah audiens berhasil “terpikat” untuk menonton lebih lama. Strategi ini menjadi krusial karena algoritma YouTube menilai konten berdasarkan durasi menonton dan tingkat retensi penonton.

Dilema Konten Ilmiah dalam Bayangan Algoritma

Meskipun strategi ini membantu menjangkau audiens lebih luas, studi Walter dan Friesike menunjukkan adanya dilema serius. Penekanan berlebihan pada preferensi algoritma dapat mengarah pada pengurangan kedalaman dan ketelitian informasi ilmiah. Ketika pencapaian visibilitas menjadi prioritas utama, substansi ilmiah sering kali harus dikompromikan atau disederhanakan secara berlebihan.

Masalah lainnya adalah ketidaktransparanan algoritma. Para kreator konten tidak pernah tahu pasti bagaimana algoritma bekerja secara detail. Ini menciptakan kondisi ketidakpastian yang membuat para kreator harus bergantung pada spekulasi mengenai preferensi algoritma, bukan pada prinsip-prinsip komunikasi ilmiah yang sudah teruji secara akademik.

Rekomendasi dan Tantangan Masa Depan

Walter dan Friesike menekankan perlunya transparansi lebih besar mengenai algoritma di platform media sosial. Mereka juga menyarankan bahwa praktisi komunikasi sains harus lebih kritis terhadap ketergantungan pada algoritma. Pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana algoritma bekerja, bersama dengan pelatihan tentang komunikasi ilmiah digital yang efektif, penting untuk mempertahankan integritas ilmiah tanpa mengorbankan daya tarik publik.

Menilik ke depan, tantangan utama adalah menemukan keseimbangan antara popularitas dan integritas. Seiring meningkatnya peran media sosial dalam membentuk persepsi publik terhadap sains, para ilmuwan dan praktisi komunikasi sains perlu memperhatikan bagaimana mereka menggunakan platform ini. Alih-alih sekadar mengejar visibilitas algoritmik, para komunikator sains perlu mengembangkan pendekatan yang secara bijak menggabungkan strategi digital dan kualitas ilmiah.

Studi ini membuka wawasan kritis tentang hubungan kompleks antara teknologi, persepsi manusia, dan komunikasi sains. Dengan memahami bagaimana imaginer algoritmik bekerja, komunitas ilmiah bisa lebih sadar terhadap dampak tidak langsung algoritma terhadap komunikasi ilmiah dan lebih siap menghadapi tantangan yang dihasilkan oleh dinamika digital ini.


Tinggalkan komentar

Eksplorasi konten lain dari Indonesian Science Communication Lab (IDSCL)

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca