Dalam diskusi podcast bersama Hanna Siemaszko (SciLux Podcast), Prof. Mike S. Schäfer—pakar komunikasi sains dari Universitas Zürich—menawarkan refleksi mendalam mengenai kritis dan kemungkinan dalam hubungan antara sains dan masyarakat. Ia mengawali percakapan dengan membahas peran komunikator sebagai perantara (intermediary), bukan sekadar penerjemah pasif dari pengetahuan ilmiah.
Komunikator yang baik, menurutnya, harus memiliki kemampuan untuk menjembatani dua arah komunikasi: dari sains ke masyarakat dan sebaliknya, serta mampu memfasilitasi dialog yang memperhitungkan kekhawatiran, konteks sosial, dan tingkat pengetahuan audiens secara beragam.
Dalam hal ini, ia menolak asumsi umum bahwa publik selalu berada dalam posisi “defisit pengetahuan” dan bahwa tugas komunikasi sains adalah sekadar mengisi kekurangan itu. Model defisit semacam ini, katanya, terbukti tidak cukup berhasil dalam menjangkau kelompok yang lebih luas dan justru mengabaikan dinamika interaktif yang dibutuhkan oleh demokrasi ilmiah.
Segmen Penting dalam Komunikasi Sains
Schäfer membagi publik ke dalam segmen-segmen, di mana dua kelompok menjadi perhatian utama: sciencephiles dan passive supporters.
Kelompok pertama (sciencephiles) adalah individu berpendidikan tinggi yang sudah mencintai dan mengikuti perkembangan sains secara aktif. Mereka menjadi konsumen utama dari sebagian besar format komunikasi sains.
Namun, kelompok kedua justru lebih penting secara strategis. Passive supporters adalah mayoritas populasi yang meskipun tidak terlibat secara aktif, tetap memercayai sains dan mendukung pembiayaannya. Kelompok ini jarang mengakses informasi ilmiah secara sukarela dan tidak merasa bahwa sains relevan dengan kehidupan mereka. Menurut Schäfer, inilah kelompok yang seharusnya lebih difokuskan oleh upaya komunikasi sains—bukan untuk sekadar mengubah mereka menjadi pencinta sains, tetapi untuk memastikan bahwa mereka tidak tergelincir ke jurang disinformasi dan ketidakpercayaan. Upaya ini membutuhkan strategi yang lebih aktif dan proaktif, termasuk menjangkau mereka di ruang-ruang di luar institusi akademik seperti media arus utama, komunitas lokal, dan platform digital yang akrab bagi mereka.
Ketika membahas tentang rendahnya keterlibatan ilmuwan dalam komunikasi publik, Schäfer menunjukkan bahwa meskipun semakin banyak ilmuwan yang menyadari pentingnya keterlibatan, hanya sedikit yang benar-benar melakukannya secara rutin. Ada berbagai hambatan struktural dan budaya yang menjadi penghalang. Diantaranya: ketidakpastian akan bagaimana media akan menggunakan kutipan (wawancara) mereka, tekanan karier yang membuat waktu mereka terbatas, kurangnya insentif profesional (komunikasi tidak dihargai dalam penilaian karier akademik), serta kultur institusional yang masih meremehkan keterlibatan publik. Lebih dari itu, ancaman backlash publik terhadap ilmuwan—terutama mereka yang meneliti isu sensitif seperti iklim, gender, atau vaksin—semakin menambah resistensi. Schäfer juga menyoroti bahwa sistem universitas sering kali tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk melindungi ilmuwan dari serangan digital atau intimidasi, baik secara hukum maupun psikologis.
Hambatan dan Penghalang Komunikator Sains. Diantaranya:
1. Ketidakpastian akan bagaimana media akan menggunakan kutipan (wawancara)
2. Tekanan karier yang membuat waktu mereka terbatas
3. Kurangnya insentif profesional (komunikasi tidak dihargai dalam penilaian karier akademik)
4. Kultur institusional yang masih meremehkan keterlibatan publik
5. Ancaman backlash sosial terhadap ilmuwan (terutama mereka yang meneliti isu sensitif seperti iklim, gender, atau vaksin)semakin menambah resistensi
6. Sistem universitas sering kali tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk melindungi ilmuwan dari serangan digital atau intimidasi, baik secara hukum maupun psikologis.
Lalu, Bagaimana Peran Jurnalisme Sains?
Di tengah tantangan tersebut, jurnalisme sains menurut Schäfer memegang peranan yang tidak tergantikan. Jurnalis sains bukan hanya saluran diseminasi, tetapi juga aktor kritis yang memiliki jarak epistemik terhadap sistem sains. Mereka dapat menyoroti ketimpangan, kontroversi, atau kegagalan dalam sains—hal yang tidak bisa dilakukan oleh komunikator institusional karena keterbatasan peran dan konflik kepentingan.
Namun, jurnalisme sains tengah mengalami erosi struktural di banyak negara. Model ekonomi media digital telah melemahkan pendapatan dari iklan dan langganan, menyebabkan banyak redaksi sains tutup atau kehilangan jurnalis spesialis. Di saat bersamaan, institusi akademik memperkuat divisi komunikasi mereka, bahkan mempekerjakan mantan jurnalis.
Meskipun para profesional ini memiliki kemampuan yang baik, mereka tidak memiliki independensi kritikal yang melekat pada jurnalisme. Hal ini menciptakan ketimpangan kekuasaan baru, di mana sains tidak lagi cukup diawasi dari luar, dan reputasi dibentuk lebih banyak oleh narasi internal.
Schäfer menunjukkan bahwa model media publik seperti penyiaran layanan publik di Eropa (termasuk Swiss) masih berfungsi sebagai benteng terakhir jurnalisme sains yang independen. Namun lembaga-lembaga ini juga tidak kebal terhadap pemotongan anggaran atau tekanan politik.
Ia menceritakan upaya kolektifnya bersama kolega untuk menggalang petisi agar pemangkasan jurnalisme sains di penyiaran publik Swiss dibatalkan—sebuah upaya yang mencerminkan pentingnya advokasi aktif dari komunitas akademik untuk mempertahankan ruang diskursus ilmiah yang independen dan demokratis.
Bagaimana tentang Akal Imitasi (AI)?
Di bagian akhir, diskusi menyentuh topik penting lainnya: kecerdasan buatan (AI). Schäfer menyebut AI sebagai game changer yang mengubah tidak hanya praktik komunikasi, tetapi juga struktur perhatian publik dan produksi pengetahuan. AI sudah digunakan dalam penerjemahan, penulisan konten, pembuatan visual, bahkan penyaringan literatur ilmiah. Namun ia memperingatkan bahwa penggunaan yang buruk—terutama prompt tunggal tanpa kurasi—dapat menghasilkan konten dangkal dan membanjiri ruang publik dengan retorika kosong. Untuk itu, keterampilan AI literacy menjadi syarat baru bagi komunikator sains masa kini. AI, menurutnya, bukan pengganti, melainkan asisten junior yang membutuhkan panduan, konteks, dan interaksi manusia yang berkelanjutan. Kemampuan untuk mengevaluasi kualitas teks dan mempertahankan kedalaman kritis akan menjadi pembedaan utama antara komunikasi sains yang bermakna dan komunikasi yang semata-mata meniru bentuknya.
Secara keseluruhan, pemikiran Schäfer menegaskan bahwa tantangan komunikasi sains saat ini bukan hanya soal cara menyampaikan informasi, tetapi menyangkut arsitektur epistemik yang lebih luas: siapa yang berbicara, untuk siapa, dalam kondisi sosial dan teknologi seperti apa. Ia mendorong komunitas ilmiah untuk mengambil peran lebih besar dalam memperkuat jurnalisme sains, membangun insentif struktural bagi keterlibatan publik, dan merancang strategi komunikasi yang berakar pada riset dan refleksi diri.
Komunikasi sains, pada akhirnya, bukan sekadar soal mendekatkan sains ke masyarakat, tetapi juga mendemokratisasikan sains—menjadikannya bagian dari percakapan kolektif tentang masa depan bersama.
Tinggalkan komentar