Indonesian Science Communication Lab (IDSCL)

adalah grup inisiasi non-profit untuk pengembangan keilmuan, strategi dan praktik komunikasi sains di Indonesia. Berbasis riset dan pengalaman praktis untuk meningkatkan wacana dan partisipasi publik pada sains, dengan mendorong dialog dan proses deliberatif dalam ruang lingkup kajian public engagement of science (PES) dan Science, Technology and Society (STS).

Mengapa LinkedIn Lebih Baik untuk Komunikasi Sains?

Pernahkah Anda memikirkan mengapa unggahan ringkas tentang riset di Facebook kerap tenggelam dalam hitungan jam, sementara satu pos tentang hasil riset di LinkedIn justru memicu diskusi lintas disiplin yang berlangsung berhari-hari?

Ternyata jawabannya bukan sekadar soal algoritma. Ini soal “ekologi” komunikasi pengetahuan yang berubah. Dan LinkedIn, yang dulunya dianggap hanya sebagai papan lowongan kerja digital, kini menjelma menjadi ruang baru komunikasi sains yang tak bisa diabaikan.

Sebuah eksperimen kecil namun cermat oleh Laimburg Research Centre mengkonfirmasi intuisi ini. Mereka membagi lima topik sains yang sama ke dua platform—Facebook dan LinkedIn—dalam tiga jenis konten: hasil riset (result), proses ilmiah (process), dan cerita personal ilmuwan (person).

Hasilnya mengejutkan: untuk semua jenis konten, LinkedIn tidak hanya mempertahankan umur keterlibatan lebih lama, tapi juga mencatat tingkat interaksi lebih tinggi, terutama untuk konten yang menjelaskan proses dan refleksi personal. Fenomena ini patut diperhatikan, terutama di tengah krisis kepercayaan publik terhadap sains yang semakin dalam, dan kebutuhan untuk membumikan pengetahuan ilmiah secara bermakna.

Poster ilmiah di #PCST2025 Aberdeen, Skotlandia tentang tipe konten di Linkedin Vs Facebook. Foto oleh: Saad Lotfey.

Dari laboratorium ke lini masa

LinkedIn menawarkan sesuatu yang langka yaitu keseriusan tanpa kekakuan. Di sini, seorang peneliti medis bisa bercerita tentang dilema etika saat mengolah data pasien, sementara ekonom lingkungan bisa menautkan ringkasan risetnya yang baru terbit di jurnal ilmiah, lalu bertanya: “Apa implikasinya bagi kebijakan pajak karbon di ASEAN?”

Itu terjadi karena audiens LinkedIn berbeda. Mereka bukan sekadar ‘pengikut’ dalam logika media sosial biasa, tapi rekan sejawat, mitra kebijakan, atau bahkan editor jurnal. Di sinilah keterlibatan digital memiliki bobot epistemik: interaksi tidak hanya sekadar ‘like’, tetapi bisa membuka ruang kolaborasi, kritik konstruktif, atau bahkan pendanaan.

Dan ini penting, tidak semua media sosial diciptakan setara untuk komunikasi sains. X(Twitter) dan Threads semakin bising, seringkali utas yang dibuat panjang dan berurutan dalam beberapa postingan memperlihatkan kelemahan pembacaan oleh audiens. Tidak sering berakhir dengan debat kusir dan hanya melahirkan perdebatan yang jauh dari konteks ilmiah. Instagram estetis tapi minim ruang diskursif. Facebook terlalu familier dan cepat tertelan algoritma. LinkedIn, dalam banyak kasus, justru memberi ruang yang memungkinkan sains tampil utuh dengan kompleksitas, keterbatasan, dan nuansanya.

Bukan soal personal branding semata

Tentu saja ada kekhawatiran yang valid: apakah ini akan mendorong ilmuwan menjadi influencer akademik? Apakah kita tergoda menyederhanakan atau bahkan mendramatisasi riset demi viralitas?

Ya, risiko performatif itu nyata. Terutama ketika metrik like, share, dan jangkauan mulai dianggap sebagai proxy reputasi ilmiah. Namun risiko ini bisa dikelola, bahkan diubah menjadi peluang reflektif. Kuncinya bukan menghindari media sosial, melainkan menggunakannya secara etis dan strategis.

Narasi personal misalnya, bukan sekadar cerita sukses. Ia bisa menjadi ruang untuk menyuarakan kegagalan, keraguan, bahkan pertanyaan metodologis. Dan justru di sanalah sains menemukan kembali wataknya yang manusiawi.

Menuju komunikasi sains yang lebih inklusif

Yang menarik, LinkedIn juga memungkinkan ilmuwan dari institusi kecil atau dari negara berkembang untuk “berbicara” pada panggung global, tanpa harus menunggu panggilan konferensi atau publikasi di jurnal bereputasi tinggi. Selama kontennya bermakna, relevan, dan disampaikan dengan jernih, keterlibatan akan datang—dan sering kali dari audiens yang tak terduga: pembuat kebijakan, jurnalis data, aktivis, atau pendidik.

Itulah mengapa kita perlu mendorong pendekatan yang lebih reflektif dan strategis dalam komunikasi sains digital. Bukan dengan sekadar mengukur impresi, tetapi menilai kualitas interaksi: Apakah muncul pertanyaan baru? Apakah terjadi koneksi lintas disiplin? Apakah audiens non-akademik terlibat?

Institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset pun perlu bergerak. Komunikasi sains tak boleh lagi menjadi urusan individu. Ia butuh ekosistem: pelatihan naratif, dukungan visualisasi data, kebijakan insentif, hingga mekanisme etik. Jika tidak, yang terjadi adalah seleksi sosial media—di mana hanya yang punya sumber daya komunikatif yang didengar, sementara suara penting dari pinggiran tetap tenggelam.

Komunikasi sebagai kerja kolektif

Akhirnya, komunikasi sains bukanlah panggung solo. Ia adalah kerja kolektif yang membutuhkan refleksi, empati, dan keberanian untuk bicara dalam bahasa yang dapat diakses tanpa mengorbankan substansi.

LinkedIn, dengan segala keterbatasannya, memberi kita peluang untuk menjadikan sains lebih terbuka, inklusif, dan relevan secara sosial. Ia bukan hanya tempat mencari pekerjaan atau memamerkan gelar, tapi bisa menjadi ruang belajar bersama, membangun kepercayaan publik, dan mengembalikan sains pada tempatnya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Tentu, platform bisa berubah. Tapi prinsipnya tetap: komunikasi sains yang baik bukan soal di mana kita bicara, tapi bagaimana, untuk siapa, dan demi apa.


Satu tanggapan untuk “Mengapa LinkedIn Lebih Baik untuk Komunikasi Sains?”

  1. candyresilient06d8adb4bc Avatar
    candyresilient06d8adb4bc

    Temuan yang menarik! Mungkin bisa dikembangkan dengan studi pada Instagram dan Tiktok.

    Namun, mungkin pertanyaan yang menarik bagi saya adalah jika kita akhirnya memilih fokus pada LinkedIn, mungkinkah akan berdampak secara jangka panjang pada eksklusifitas sains komunikasi? Mengingat bahwa pengguna LinkedIn secara umum adalah professional.

    *Walaupun di sisi lain, tidak semua orang perlu tahu soal sains sih mas hehehehe

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan ke candyresilient06d8adb4bc Batalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Indonesian Science Communication Lab (IDSCL)

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca